Biarkan Aku Mencintaimu seperti Mereka
Cantik, indah, menawan dan menjadi pusat perhatian, hal yang selalu dikejar oleh jutaan hawa di muka bumi ini. Foundation, sunscreen, bedak, liptint, mascara, eye shadow, blush on dan masih banyak lagi printilan-printilan make up yang mungkin tak pernah kedaluarsa berjajar di meja rias karena akan selalu menempel di wajah. Check out satu atau dua pasang outfit of the day tiap minggu jadi kegiatan wajib yang tak boleh absen dilakukan untuk menambah indah lekuk badan. Jangan lupa sepatu dan tas branded juga harus selalu menempel di kaki dan tangan kemanapun berada. Sudah menjadi hal yang sangat wajar untuk wanita di zaman ini.
Namun bukan itu yang aku lihat di tempat ini. Pernahkah kamu melangkah memasuki tempat dengan wanita-wanita yang ‘berbeda’, dengan jutaan perasaan baru yang bercampur aduk memenuhi hati dan jiwa? Aku pernah, atau tepatnya ditempat itulah aku sekarang. Di tempat ini aku belajar cinta dan iri. Menarik bukan, cinta yang mewarnai hati dan iri yang menodai hati. Mereka muncul dan tumbuh bersama, namun iri ini hanya menjadi noda jika belum mengerti makna ‘iri’ yang sesungguhnya. Lucunya iri ini berbeda, iri inilah yang menumbuhkan cinta-cinta baru penuh warna di jiwa. Mengesankan bukan, beruntung lebih tepatnya.
Melalui hari demi hari bersama wanita-wanita ini di tempat ini rasanya sungguh berbeda. Kalau menurutku mereka ini pilihan dan istimewa. Dimataku, mereka cantik, menawan dan tidak biasa. Cantik bukan karena semua hal yang menempel pada diri mereka. Jika harus dijabarkan, satu kata yang sesuai untuk wanita-wanita itu, sederhana. Begitu sederhana hingga tidak nampak ada hal yang istimewa dari mereka. Apa yang menghias mereka setiap hari gamis polos, kadang daster gombrong, dan jilbab segiempat dilipat dengan satu sematan jarum pin. Tanpa riasan apapun tapi mereka ayu. Tidak payah ketika melangkah ke dunia luar dengan jutaan pasang mata yang entah mampu dijaga atau tidak pandangannya. Menurutku, mereka paham arti perhiasan yang sesungguhnya. Bukan emas, intan atau permata, bukan itu semua, tapi mereka. Merekalah perhiasan yang sesungguhnya.
Teringat salah satu pertanyaan Rosulullah ﷺ kepada sahabat, “Siapakah wanita yang paling bagus?” dan para sahabat nabi bingung menjawab, tidak ada sahabat yang bisa menjawab termasuk sahabat Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Akhirnya semua sahabat pulang ke rumah termasuk Sayyidina Ali bin Abu Thalib, dan sesampainya di rumah bertanyalah sang istri tercinta, Sayyidah Fatimah Az-Zahra, “Wahai suamiku apa yang engkau dapat dari ayahanda?” sebuah pertanyaan yang mungkin sudah amat jarang ditanyakan oleh seorang istri di zaman ini. Jika bukan uang apalagi yang paling ditunggu? Namun tidak demikian dengan manusia-manusia mulia pilihan Allah ﷻ. Dijawablah oleh Sayyidina Ali bin Abu Thalib banyak ilmu yang beliau dapat, namun juga pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya. Sudah tentu Sayyidah Fatimah Az-Zahra, wanita yang mulia tahu jawabannya dan membisikkannya pada sang suami. Sayyidina Ali pun langsung berbinar-binar mendengar jawaban dari sang istri.
Keesokan harinya Rosulullah ﷺ menanyakan adakah yang sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan kemarin. Sayyidina Ali bin Abu Thalib pun menjawab,
“Wanita yang paling bagus adalah yang tidak pernah melihat laki-laki dan dilihat laki-laki.”
Rosulullah ﷺ pun paham siapa yang memberi tahu jawaban tersebut, tentu orang yang paling dekat dengan beliau. Bukan berarti tidak pernah melihat lelaki seorang pun, namun jawaban itu bermakna wanita yang tidak senang dipandang lelaki yang tidak halal baginya, tidak nyaman, dan merasa risih hatinya. Bukan pula berarti mereka tidak pernah keluar dari rumahnya, tidak. Mereka tetap keluar beraktivitas dengan riasan yang sederhana, bersama mahram mereka. Bahagianya wanita-wanita dengan hati seperti itu, iman dan mulia menghiasi dirinya.
Sama bukan dengan kisah itu?
Beruntung sekali diri ini, hidup dengan mereka. Mereka paham benar, wanita adalah makhluk yang dimuliakan oleh sang Pencipta. Menjaga diri, tidak hanya dari pandangan lelaki, namun juga menjaga batasan tubuh yang boleh dilihat oleh kawannya sendiri. Betapa terjaganya wanita-wanita ini. Satu poin yang membuatku iri, iya kesederhanaan itu yang membuatku iri, apa kalian juga sudah mulai iri? Masih belum? Tunggu dulu, masih ada lagi.
Wajah, sekali lagi kata sederhana yang paling pas untuk wanita – wanita ini. Sangat jarang kulihat mereka memoles wajah mereka dengan aneka macam make up yang sering digunakan wanita – wanita di luar sana. Namun aneh, wajah mereka memancarkan cahaya, terdengar berlebihan mungkin diriku menggambarkan mereka, tapi memang begitu, mereka sangat cerah. Walau dengan kantung mata menghitam tanda kurang tidur, tapi semakin menambah teduh wajah mereka. Terjaga wudhunya, mungkin itu jawabannya. Berusaha setiap saat bergerak dalam keadaan suci dari hadas, agar apa? Agar mereka bisa bermesraan dengan kalam-Nya tentu. Niat yang menjadi kendaraan mereka disinilah yang sungguh membuat hatiku iri. Demi kedua orang tua, yang telah dengan susah payah bekerja demi kebahagiaan mereka, semoga berkah Qur’an ini dapat mempersembahkan jubah kemuliaan untuk mereka. Dengan suka cita mereka habiskan masa muda mereka disini. Banyak yang lebih muda dari aku, jauh lebih muda malah, namun semangat mereka yang sekali lagi membuatku iri. Ingin rasanya seperti mereka. Hati yang dihias dengan hiasan yang indah. Bukan hiasan, tapi penghuni, iya hati mereka dihuni dan dipenuhi dengan surat-surat cinta dari Allah. Al-Qur’an, yap mereka adalah hafidzoh, memang masih dalam proses tapi sungguh membuat iri hati ini. Indah bukan rupa, tapi hati mereka.
Bagaimana bisa mereka begitu lekat dengan lembar-lembaran itu? Sebenarnya tidak mengherankan. Jelas sudah bahwa lembaran-lembaran itu adalah surat cinta dari Rabb mereka, Rabbku. Begitu cintanya mereka hingga terlelap pun dengan mendekap mushaf. Memandang pagi, siang dan malam, dibaca, dilantunkan dan diulangi berulang kali tanpa bosan. Justru aku yang aneh, kenapa aku tidak bisa mencintai surat cinta Rabbku seperti mereka? Apakah waktu mereka lebih banyak dariku? Atau kesibukanku yang teramat padat? Tidak, tidak, bukan itu semua. Mungkin hatiku terlalu kotor untuk dipenuhi dengan kalam-kalam indah itu.
Aku ingin belajar mencintai kalam-kalam itu seperti mereka, ijinkan aku Ya Rabb. Aku iri dengan mereka, aku ingin seperti mereka. Memberikan hadiah terindah untuk malaikat yang Engkau berikan padaku di bumi untuk menjagaku. Tak terbayang betapa bahagianya mereka, ketika lelah mereka di bumi, keringat mereka yang bercucur, waktu mereka yang dikorbankan, bisa aku balas dengan sepasang jubah kemuliaan di surga. Ingin sekali rasanya.
***
Setiap langkah, gerakan, hingga hembusan nafas tak luput dari mengingat pencipta mereka, tak luput dari ilmu. Satu lagi yang membuatku iri, ilmu. Menjadi orang yang diperhatikan oleh manusia paling mulia, Rosulullah ﷺ. Seperti hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang artinya, Rosulullah ﷺ bersabda :
“Akan datang kepada kalian beberapa golongan untuk mencari ilmu. Jika kalian melihat mereka maka katakanlah kepada mereka “Selamat datang, selamat datang orang yang diperhatikan oleh Rosulullah ﷺ” dan berikanlah mereka ilmu.” (Hadits Hasan Riwayat Ibnu Majah)
Bahagia bukan? Bukan lagi diperhatikan orang yang menyayangi kita saja sudah membuat hati berbunga, apalagi oleh kekasih Allah. Entah sudah berapa kitab yang mereka khatamkan, mencatat ilmu-ilmu untuk bekal meraih dunia dan akhirat. Tanpa lelah membaca, mendengarkan nasihat guru, mengikat ilmu dengan menulis dan menghafalkan ilmu-ilmu yang telah disampaikan guru-guru mereka dalam majelis.
“Tulislah sebaik-baiknya ucapan yang kamu dengar,
Hafalkan sebaik-baiknya tulisan yang kamu tulis, dan
Ajarkan sebaik-baiknya hafalan yang kamu hafal.”
Pantas saja semangat itu tidak pernah padam. Bara api selalu dijaga nyalanya oleh sang guru dan diteladani oleh sang murid. Tidak rela saat ilmu dan petuah dari sang guru hilang begitu saja, sebisa mungkin ilmu dan nasehat itu mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tiada hari tanpa belajar, tiada hari tanpa ilmu baru yang didapat. Dimohonkan ampun dari seluruh penghuni langit dan bumi, mencari warisan para nabi, ilmu. Betapa membuat iri hati ini. Inilah ‘iri’ku yang lain pada wanita-wanita itu. Iri yang menumbuhkan cintaku pada ilmu.
Pagi memulai hari dengan hal yang baik, malam pun ditutup dengan hal yang baik. Tidak melakukan apapun kecuali bergerak dengan niat yang baik. “Mengapa harus begitu?” pikirku. Belum sempat terucap pertanyaan dalam benakku itu, sudah mendapat jawaban yang sangat jelas. ‘Seseorang akan diberi oleh Allah sesuai dengan niatnya, bukan amalnya.’ Sebanyak apapun amal yang dilakukan apabila niatnya cuma satu, ya hanya itu yang di dapat. Sebaliknya, walaupun hanya melakukan satu amal tapi dilakukan dengan memperbanyak niat, maka yang didapat sebanyak yang diniatkan. ‘Jika niatmu baik, kamu akan selalu dalam kebaikan,’ Seperti itulah pesan Imam Hambali ketika dimintai petuah oleh sang putra. Sepenting itu niat, hal sepele yang sering terlupa. Selalu memperbaiki, meluruskan dan memperbanyak niat. Noted.
Berlanjut dari niat. Pernahkah merasakan terpuruk dan ingin kembali? Merasa seperti butiran debu di antara kilauan permata yang sudah lama ditempa panas dan tekanan. Merasa kecil sangat kecil, tidak terlihat. Merasa tidak sanggup lagi, menangis sendiri dan ingin berhenti. Namun sekali lagi, bekali-kali tepatnya kebaikan Allah nampak, datang bersama guru mulia. Disaat semua perasaan yang mendorong untuk berhenti bahkan mundur, guru memberikan nasehat cukup sederhana, tapi benar-benar menghentikan dorongan negatif itu.
‘Ketika kamu mulai takut berada dalam lingkunganmu yang baru, ingat saja apa niat awalmu datang ke lingkungan itu’
Iya, aku lupa apa tujuanku, niat awalku. Terlalu fokus dengan kelebihan yang tak ada pada diri, terlalu fokus membandingkan diri, terlalu fokus pada iri. Betapa niat memang harus selalu diluruskan, di tulis jika perlu. Mengingat kembali niat awal yang masih putih, seakan mampu menepis noda-noda yang mengotori semangat dalam hati. Setiap orang memiliki ‘garis start’nya sendiri. Mungkin aku baru beberapa langkah dari garisku, dan sudah iri dengan pelari lain yang sudah lari lebih dulu. Mungkin aku harus terseok di awal, tapi aku yakin pasti Allah mampukan menuju tujuan, selama niat masih pada koridor yang baik tentunya. “Niat itu seperti kendaraan, kalau bagus niatnya, kendaraanya juga bagus, kalau bagus kendaraannya pasti cepat sampainya.” Apakah hatimu jadi tenang? Kalau aku iya.
***
Hari-hari yang berlalu terasa sangat cepat, berbeda dengan hari-hari biasaku. “Kenapa?” pikirku, “Apa karena aku mulai menikmati tempat ini? Atau karena waktu disini begitu dihargai?” Sebisa mungkin waktu yang ada dimanfaatkan dengan baik, mengurangi hal-hal yang sia-sia, hingga serasa 24 jam tidak cukup untuk hal-hal baik. Kebaikan-kabaikan yang terasa, meskipun hanya sekedar menghamparkan sajadah pada orang lain yang tidak membawa sajadah, sekedar berbagi camilan, sekedar berbagi cerita, kisah dan canda, tapi selalu ada hikmah yang bisa diambil dari semua yang ‘hanya’ itu. Kebaikan memang tidak selalu dengan hal yang besar, cukup yang sederhana namun dari hati. Berada diantara wanita-wanita yang jauh lebih muda, dan lebih banyak ilmu. Jika bukan karena satu petuah itu mungkin luntur sudah keinginan untuk belajar.
Undzur maa qoola, walaa tandzur man qoola.
Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.
Banyak ilmu yang bisa didapatkan dari wanita-wanita yang jauh lebih muda ini. Tak masalah jika mereka jauh lebih muda. Tak perlu merasa lebih pandai atau lebih tau karena lebih lama hidup. Jangan sampai menjadi katak dalam tempurung juga. Merasa dia yang paling besar karena dia tertutup tempurung, padahal ketika tempurung itu dibuka, banyak katak yang jauh lebih besar. Selama ilmu yang mereka berikan adalah ilmu yang bermanfaat dan jelas sanad keilmuannya, apa salahnya? Terlambat memang lebih baik daripada tidak sama sekali bukan? Tekadang memang perlu memandang ke bawah agar bisa sadar akan nikmat Allah dan mensyukuri nikmat itu. Bersyukur diberi kesempatan belajar, bersyukur tidak dibiarkan oleh Allah berlama-lama dalam lembah kebodohan, dan bersyukur masih diberi rasa iri saat melihat wanita-wanita berilmu itu.
Disini aku belajar untuk mengutamakan adab sebelum ilmu. Kenapa adab? Karena keberkahan ilmu bergantung pada besarnya adab. Keberkahan disini bermakna bertambahnya kebaikan. Semakin tinggi adab, semakin besar keberkahan yang didapat. Apa gunanya ilmu jika diri tidak memiliki adab, jika sang guru tidak ridho, jika tidak bisa memuliakan ilmu? ‘Ilmu itu seperti garam, dan adab seperti tepung’. Saat kita hendak membuat roti manakah yang lebih banyak? Sudah tentu tepungnya bukan? Seperti itulah ketika kita mau belajar, perbanyaklah adab-adab terhadap ilmu, guru, maupun kitab ilmu itu sendiri.
***
Lampu-lampu dinyalakan, wanita-wanita itu bergegas, mempersiapkan riasan tercantik diri mereka, dan mengenakan pakaian yang lebih gelap dari sang malam. Malam sudah diterangi cahaya bulan, dan hati mereka sudah diterangi rindu yang mendalam. Bersama menaiki anak tangga menuju tempat penuh rindu itu. Siapa yang tidak tersentuh hatinya menatap puluhan wanita membaca mutiara-mutiara cinta untuk manusia paling mulia di alam semesta. Siapa yang tidak iri, mereka bisa begitu merindui Baginda Muhammad ﷺ, begitu mendamba perjumpaan dengan beliau, sementara hati ini masih membatu, bebal dari rindu-rindu itu.
Siapa yang tidak iri, untaian-untaian mutiara itu dihayati sepenuh hati, hingga mutiara-mutiara indah berjatuhan dari pelupuk mata mereka. Siapa yang tidak ingin menjadi umat kekasih Allah? Gemertak hati ini, tidak kuat membaca bait demi bait buku kecil berwarna hijau yang kugenggam itu, mensyukuri nikmat tiada tara yang Allah berikan dalam hidup singkat ini. Bertamasya, memanjakan netra dan telinga serta jiwa tentu saja. Menambahkan celengan rindu kepada sang Musthofa Ahmad. Dimana saja aku selama ini, kemana saja, merindu siapa aku selama ini? Mengharapi suatu hari nanti dapat bertemu Beliau dalam keadaan yang terbaik, menatap wajah terindah manusia paling utama dan semoga bersama-sama bisa memasuki pintu syafa’at dan menghirup sejuknya kenikmatan itu. Sholu ‘ala nabi Muhammad.
Begitulah kisah cinta dan rindu. Berawal dari iri dan berakhir dengan rindu. Tiada yang lebih dirindui hati ini selain pulang kembali.
Oleh : Lilis Wijayanti
Komentar
Mantap mbk
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Mengenal Sosok Imam Asma’i, Ulama Besar dari Basyrah
Imam Asma’i adalah salah satu ulama yang terkenal sangat kuat hafalannya. Kuatnya hafalan dari Imam Asma’i dikarenakan beliau selalu ndarus dan mengulang-ngulang pelajaranya
Syair Ashma
Al-Imam Abu al-Hasan Ali al-Jurjaniy Mereka berkata kepadaku engkau dalam kemiskinan, sesungguhnya Mereka melihat seseorang yang sedang menahan diri dari kehinaan Kulihat manusia
Masya allah la quwatailla billah